Minggu, Juni 06, 2010

Badan Penangulangan Kemiskinan dan Pengangguran

Pembaca pasti mengenal betul dengan dua kata kunci ini : Kemiskinan dan Pengangguran. Dua kata ini boleh dibilang luar biasa. Kenapa begitu, pertama, dua kata ini jelas merupakan konsentrasi pembangunan hampir diseluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Kedua, dua kata ini tidak pernah tuntas, atau dengan kata yang lebih moderat, sulit diberantas. Ada dua kata lain yang menjadi saingan beratnya, yaitu pendidikan dan kesehatan. Dua kata yang mengikuti isu kemiskinan dan pengangguran ini juga menjadi komoditas di berbagai aspek, terutama politik.

Berbicara mengenai kemiskinan dan pengangguran, teman saya waktu diklat di Medan, pernah 'nyeletuk' bahwa kemiskinan dan pengangguran sengaja dipelihara karena merupakan asset, asset dalam memperoleh proyek, yang berarti asset dalam memberikan kontribusi ekonomi bagi kelompok elit. Memang saya tidak sepenuhnya percaya, tetapi kalau kita pikir-pikir kenapa ini tidak pernah tuntas....ada benernya juga 'celetukan' teman tadi.

Sekarang kalau kita sudah tahu bahwa dua isu penting ini tidak pernah tuntas kenapa tidak diselesaikan secara lebih fokus. Sebagai contoh, kenapa tidak ada Kementrian Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran, atau untuk di daerah kenapa tidak ada yang berani mengampanyekan berdirinya Badan Penanggulangan Kemiskinan dan Pengangguran. Kalau jawabannya adalah harus diselesaikan secara multi sektor, kenapa dengan kementerian lain atau badan lain dapat berdiri? Kalau memang harus multi sektor kan jawabannya koordinasi. Kenapa hal ini tidak pernah terwujud.

Pandangan atau slogan 'pro poor' dan 'pro job' di berbagai tema kampanye atau dokumen rencana, saya berkeyakinan tidak ada keberpihakan selama badan ini tidak terbentuk. Kenapa takut atau tidak ada nyali membentuk badan ini? Kalaupun pada tataran departemen tidak ada, tetapi hak otonomi memberikan peluang itu. Kita bicara kemiskinan dan pengangguran, tetapi badan yang bergerak nyata tidak pernah ada. Kita hanya bisa jumpai Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Lalu siapa yang mendapat untung....Tim yang melakukan perjalanan dinas dan honor bulanan, setelah ditanya data penduduk miskin tak mampu memberikan jawaban.

Semestinya harus ada terobosan begitu kita menyatakan 'pro job' dan pro poor'. Ketika kita berani membentuk Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penyuluh Pertanian, Peternakan, dan Kehutanan, kenapa Badan yang merupakan sasaran pembangunan bahkan isu sentral pembangunan nasional dan global, justru tidak ada badan yang secara spesifik mengurusinya. Ada apa ini?

Opini ini hanya untuk menggelitik pemikiran kita kenapa isu kemiskinan dan pengangguran itu penanangannya tidak pernah fokus. Saya menduga karena Badan yang secara spesifik mengurusi memang tidak pernah dibentuk. Selamat buat kemiskinan dan pengangguran semoga langgeng dan tetap menjadi proyek para elit yang sifatnya sustainable.

Perencanaan Tata Ruang dalam Konteks Dokumen AMDAL

Muatan Tata Ruang dalam dokumen AMDAL sering hanya merupakan legalitas formal saja. Keberadaannya tidak dikaji secara utuh dan komprehensif. Padahal kedudukan Tata Ruang dalam konteks penyusunan AMDAL merupakan salah satu pertimbangan disetujui atau tidaknya Izin Usaha Penambangan (IUP) atau izin lain terkait AMDAL. Bukan hanya itu, IUP yang telah diterbitkan pun dapat dianulir apabila ternyata dalam pelaksanaannya melanggar Tata Ruang.

Begitu besarnya pengaruh Tata Ruang terhadap pengelolaan lingkungan, sudah barang tentu menjadi pertimbangan utama dalam penyusunan Dokumen AMDAL. Permasalahannya, Tim Penyusun AMDAL tidak dilengkapi dengan tenaga perencana (Planning/Planologi). Pada kasus tertentu baru-baru ini, dalam menjelaskan Ruang, Lahan dan Tanah, Tim Penyusun AMDAL belum memasukkan elemen2 penting tentang Ruang dan Lahan. Ketika mendapat masukan dari Anggota Tim Penilai AMDAL, umumnya Tim Penyusun tidak memahami dengan baik saran yang diberikan. Padahal Tata Ruang memegang peranan penting dalam pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tulisan ini hanya sekedar opini, seberapa besar kebutuhan terhadap tenaga ahli perencanaan (Tata Ruang) pada domain kajian Lingkungan Hidup khususnya AMDAL. Apabila ternyata terdapat kelalaian dalam mengkaji Tata Ruang terkait Pemanfaatan Lingkungan Hidup yang berdampak pada perusakan lingkungan, komunitas Penyusun AMDAL harus memahami arti penting tenaga ahli Planologi (Tata Ruang) dalam struktur Tim Penyusun.

Oleh karena itu, penyusunan dokumen AMDAL perlu didukung oleh ahli lain terutama Perencana Tata Ruang (Planner) dari disiplin ilmu Planologi. Tentu dengan memperhatikan persyarakatn lain yaitu memiliki sertiifikasi penyusun AMDAL. itulah sebagai gambaran dinamika penyusunan dokumen AMDAL atau dokumen lain (UKL-UPL) terkait dengan pengelolaan Lingkungan Hidup.

Selasa, Mei 05, 2009

Korelasi Obligasi sebagai Instrumen Pembiayaan terhadap Siklus Perulangan Bencana Tsunami (Kasus: Siklus Terjadinya Tsunami di NAD dan Nias Sumut)

Solihin, S.IP, ST, MT
zoly_plano@yahoo.com

Latar Belakang

Karakteristik geologi Indonesia terletak di tiga pertemuan lempeng utama Bumi, yakni lempeng Australia, Eurasia dan Pasifik[i]. Ketiga lempeng tersebut terus bergerak dan bergeser dari arah utara ke timur rata-rata 6 cm/tahun[ii]. Oleh karena itu dalam hitungan ratusan tahun, pergeseran tersebut akan semakin besar dan menyebabkan gempa dan akan terjadi tsunami bila terjadi di lautan. Demikian pula tsunami yang terjadi di NAD dan Nias 26 Desember 2004 merupakan perulangan tsunami yang terjadi pada masa lalu. Periode terjadinya tsunami cenderung runut meskipun rentang waktu dan lokasinya tidak teratur.

Meskipun bencana tsunami dapat ditekan dampaknya dengan mengadakan mitigasi tetapi tetap memerlukan biaya besar untuk rehabilitasi dan rekonstruksinya. Pembiayaan harus tersedia lebih dulu sebelum terjadi bencana dan harus terlepas dari hambatan politik, birokrasi dan administrasi. Hal ini berarti harus ada pos anggaran khusus yang sudah dipersiapkan untuk kepentingan tersebut. Bentuk-bentuk pembiayaan sebaiknya dicari berdasarkan indentifikasi karakteristik tsunami yang cenderung berulang dalam waktu relatif lama. Karakteristik ini akan sejalan dengan prinsip investasi jangka panjang dengan akumulasi modal tetap. Konsep yang diterapkan sebaiknya melibatkan masyarakat di NAD dan Nias Sumatera Utara.

Rumusan Masalah

Bencana tsunami merupakan ancaman yang bersinggungan dengan domain publik, terutama keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini institusi yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang memiliki otoritas publik untuk mencari instrumen pembiayaan yang tepat. Pemerintah bersama lembaga keuangan negara mengatur mekanismenya ke dalam instumen yang memiliki sistem yang seiring dengan karakter tsunami yang cenderung berulang. Pemerintah mengatur penghimpunan dana masyarakat melalui sistem obligasi. Dana yang terakumulasi yang selanjutnya dapat dikelola oleh lembaga tertentu digunakan untuk kepentingan mitigasi, sebagian untuk investasi hingga suatu saat dibutuhkan ketika siklus bencana terulang kembali.

Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan sistem obligasi pemerintah dengan rentang waktu terjadinya tsunami sehingga layak untuk dijadikan instrumen dalam pembiayaan tsunami?

Tujuan

Mengetahui hubungan sistem obligasi dengan periode terjadinya tsunami ditinjau dari sisi manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.

Hipotesis

Tsunami yang terjadi pada jangka waktu panjang akan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat jika pembiayaannya dilakukan melalui sistem obligasi.

Data dan Metoda Analisis

Data berupa jumlah penduduk dewasa NAD dan Nias berdasarkan kelas penghasilan, klasifikasi daerah rawan bencana dan bukan rawan bencana. Data historic periode terjadinya tsunami di NAD dan Nias dan data lain yang mendukung.

Analisis yang digunakan untuk mendukung hipotesis tersebut adalah:

a. Analisis nilai masa depan (Future Value)

Menentukan proporsi nilai uang yang seharusnya diobligasikan oleh masyarakat dan membangun kepercayaan kepada masyarakat (under certainty condition).

b. Analisis Internal Rate of Return

Penelusuran periode nilai uang kembali, bila diperoleh keuntungan dengan B/C > 1, maka dapat dialokasikan untuk uang kembali kepada masyarakat dan dapat dilakukan upaya mitigasi serta penerimaan dana cadangan untuk investasi.

c. Analisis korelasi sistem obligasi dengan siklus perulangan bencana tsunami.

Guna memastikan ada hubungan antara sistem obligasi dengan kejadian tsunami secara berkala dalam waktu yang relatif panjang. Dalam investasi, rentang waktu yang panjang akan membawa manfaat yang besar.

Penutup

Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan berupa:

a. Bentuk hubungan sitem obligasi dengan periode tsunami dan nilai kemanfataannya.

b. Proporsi nilai obligasi berdasarkan kelas masyarakat NAD dan Nias.

c. Tahun kembalinya modal obligasi.



Bahan Bacaan

Bierman, Harold. 1980. The Capital Budgeting Decision. Macmillan Publishing Co., Inc. New York.

FitzGerald, E.V.K.1978. Public Sector Investment Planning for Developing Countries. Macmillan Published Ltd. Hong Kong.

Rosen, Harvey S. 2005. Public Finance. McGraw Hill. Singapore.

[i] http://www.geocities.com/klipingmedia : Waspadai Tsunami Susulan, Pikiran rakyat, 24/12/2004

[ii] http://www.wikipedia.com/the free ensiklopedia.htm: 2004 Indian Ocean Earthquake


Senin, Mei 04, 2009

Diklat Fungsional Perencana

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) saat ini sedang menyelenggarakan Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Fungsional Penjenjangan Perencana untuk para aparatur pemerintah pusat dan daerah. Diklat ini sangat baik karena akan memperkuat kapasitas aparatur perencana di pusat dan di daerah. Muatan yang disampaikan (substansi materi) juga sangat relevan dengan isu-isu pembangunan di daerah. Diklat ini sudah berjalan cukup lama, mulai 1990an dengan nama waktu itu TMPP, selanjutnya sejak 2005 TMPP berubah menjadi FPP. Perubahan ini tidak lain untuk memberikan penghargaan (insentif) kepada aparatur perencana di pusat dan daerah agar memperoleh peran yang lebih besar dan semakin jelas jenjang karirnya.

Bagi aparatur yang bekerja di pusat dan daerah (diutamakan di unit perencanaan) yang akan mengembangkan kapasitas di bidang perencanaan dapat mengaksesnya pada www.bappenas.go.id setiap saat. Diklat ini diadakan setiap tahun dan hingga saat ini merupakan angkatan VIII. Bila ingin mengikuti Diklat pada tahun 2010, usulan harus dikirim pada tahun ini untuk diverifikasi di Bappenas.



Pusat-pusat tempat penyelenggaraan Diklat dapat dipilih berdasarkan regional di mana kita bertugas. Pusat-pusat penyelenggaraan Diklat FPP diantaranya:
1. Unsiyah Banda Aceh bekerjasama dengan Unimed lokasi di Medan untuk region Sumatera Selatan, Bengkulu, Babel, Jambi, Sumbar, Sumut, NAD;
2. UI Jakarta di Jakarta untuk Lampung dan Jakarta;
3. ITB dan Unpad di Bandung untuk Jabar, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel;
4. UGM di Yogyakarta untuk Jateng, Jatim, Bali;
5. Unhas di Makasar untuk Sulawesi, Maluku, Irian Jaya.

Diklat FPP memiliki tingkatan-tingkatan sebagai berikut:
a. FPP Pertama untuk PNS dengan pangkat III/a dan III/b, selama 2 bulan;
b. FPP Muda untuk PNS dengan pangkat III/c dan III/d, selama 1,5 bulan;
c. FPP Madya untuk PNS dengan pangkat IV/a hingga IV/c, selama 3 minggu;
d. FPP Utama untuk PNS dengan pangkat IV/d hingga IV/e, selama 1 minggu.

Sertifikat Diklat ini dapat digunakan untuk mengajukan Jabatan Fungsional Perencana sesuai jenjang yang diikuti. Bagaimanapun paling tidak Diklat ini mampu menjawab ketidakseimbangan antara jumlah jabatan struktural dengan jumlah PNS yang ada. Mudah-mudahan bukan sebatas itu saja, tetapi akan terbentuk PNS yang profesional di bidang perencanaan.

Rabu, April 15, 2009

Kemiskinan dan Ukuran-ukurannya


Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu keadaan manusia yang tidak diinginkan dan tidak semestinya untuk dibiarkan[1]. Secara ekonomi, kemiskinan bukan hanya disebabkan kekurangan pendapatan dan sumberdaya, tetapi juga masalah kesempatan. Sulitnya mengakses lapangan kerja dan pasar karena kendala geografis, rendahnya kemampuan serta sulitnya hubungan sosial juga merupakan penyebab kemiskinan. Keterbatasan pendidikan berdampak pada sulitnya memperoleh pekerjaan dan akses terhadap informasi yang sebenarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Oleh karena itu kemiskinan acapkali sulit dimaknai secara obyektif. Berdasarkan tipenya kemiskinan dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian (Bidani at. al. 2001), yaitu:

a). KEMISKINAN RELATIF (relative poverty lines) diperoleh dari penentuan sederhana nilai prosentase distribusi kesejahteraan, seperti tingkat konsumsi dan pendapatan penduduk di suatu tempat tertentu, misalnya ada yang mempersyaratkan hingga 30%. Kemiskinan relatif muncul sebagai akibat adanya tingkat pengeluaran dan pendapatan, semakin kaya suatu daerah maka garis kemiskinan akan semakin tinggi. Pandangan ini memiliki dua kekurangan, yaitu: pertama, kemiskinan relatif tidak begitu berguna jika ingin melihat kemiskinan berdasarkan waktu dan tempat. Keberadaannya selalu dibawah 30% penduduk, sekalipun standar hidup seluruh penduduk menggunakan ukuran lampau. Pendekatan ini juga tidak dapat dipakai untuk membandingkan kemiskinan antar wilayah atau negara. Kedua, kemiskinan relatif masih sangat subyektif, tidak jelas mengapa harus menggunakan ukuran dalam bentuk persen, padahal belum tentu dapat mewakili masyarakat yang disebut miskin itu.

b). KEMISKINAN ABSOLUT (absolute poverty lines) adalah hubungan secara jelas mengenai spesifikasi tingkat kesejahteraan. Cara ini dapat dipakai dalam waktu dan kelompok yang berbeda. Jika dua individu mempunyai standar hidup sama dalam berbagai aspek tetapi berdomisili pada wilayah yang berbeda, keduanya dapat disebut penduduk miskin apabila standar hidupnya berada di bawah garis kemiskinan di wilayah tempat mereka tinggal.

c). KEMISKINAN SUBYEKTIF (subjective poverty lines) adalah jenis kemiskinan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aspek kebutuhan dasar. Rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih kecil dari pendapatan minimum yang telah ditetapkan maka rumah tangga tersebut digolongkan dalam keluarga miskin. Kemiskinan subyektif dipilih sebagai tingkat pendapatan pada tiap-tiap penduduk yang merasa pendapatan mereka sesuai dengan kebutuhan pendapatan minimum.


Garis Kemiskinan

Menurut Asra at. al. (2001) yang disebut dengan garis kemiskinan adalah suatu ukuran rata-rata biaya yang dikeluarkan bagi tiap-tiap penduduk untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari baik berupa makanan maupun bukan makanan. Sehingga secara obyektif dapat dilakukan pengklasifikasian bagi penduduk yang disebut kaya dan penduduk yang disebut miskin. Beberapa pendekatan tentang perkiraan ukuran kemiskinan ini, secara umum diklasifikasikan dalam tiga cara:

a). Berdasarkan kebutuhan kalori (Direct Calorie Intake = DCI)

Dianggap rumah tangga miskin apabila konsumsi energi per jiwa lebih rendah dari standar yang dipersyaratkan. Bagi rumah tangga di Indonesia standar konsumsi kalori per hari diperkirakan mencapai 2.100 kalori atau 2,1 KKal (Kilo Kalori).

b). Berdasarkan kebutuhan energi makanan (Food Energi Intake Method = FEI)

Lebih jauh dibanding dengan kebutuhan kalori (DCI), pada FEI ukuran konsumsi atau pendapatan (ketergantungan rumah tangga pada makanan pokok dan bukan makanan pokok) ditentukan oleh nilai tukar uang terhadap kebutuhan dasar. Ukuran ini guna menghindari pembatasan harga bagi kebutuhan dasar. Metoda FEI ditentukan oleh dua cara: pertama, dengan menghitung rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumah tangga berdasarkan kebutuhan kalori kira-kira sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan. Kedua, dengan menggunakan hubungan empiris antara kebutuhan energi makanan dengan pengeluaran untuk konsumsi (mengurangi konsumsi dan mengalihkannya pada fungsi yang telah diperkirakan, atau mengurangi konsumsi yang tidak penting guna pemenuhan kebutuhan nutrisi).

c). Berdasarkan biaya kebutuhan dasar (cost-of-benefit needs = CBN)

Metode ideal yang sering digunakan dalam penurunan garis kemiskinan adalah dengan biaya kebutuhan dasar (cost-of-benefit needs = CBN). Dengan menetapkan sekelompok barang atau layanan yang dibutuhkan tiap orang (rumah tangga) untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak dalam masyarakat. CBN mengukur garis kemiskinan dengan menghitung biaya sekelompok bahan pangan yang memungkinkan rumah tangga menemukan kebutuhan nutrisi minimum sehari-hari yang telah ditentukan kemudian pertambahan biaya pinjaman untuk konsumsi bahan pangan. Ada tiga tahap implementasi metoda CBN: (1) menentukan sekelompok bahan pangan yang disebut dengan kebutuahn pasokan nutrisi (sering disebut kalori) sehari-hari; (2) memperkirakan harga dari kelompok makan tersebut, (3) memperhitungkan pinjaman bagi kelompok bukan makanan.

Di Indonesia perbedaan penetapan secara nasional dan regional tentang kebutuhan makanan pokok menjadi isu yang utama. Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan pembangian berdasarkan kawasan perdesaan dan perkotaan dengan asumsi biaya hidup lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Bagi kawasan perkotaan menggunakan referensi pengeluaran per kapita rumah tangga per bulan sebesar Rp. 80.000 – Rp. 100.000 (studi pada tahun 2001, BPS dalam Bidani at. al. 2001). Sementara untuk kawasan perdesaan menganut referensi pengeluaran per kapita rumah tangga sebesar Rp. 60.000 – Rp. 80.000 tiap bulan. Pada saat itu garis kemiskinan untuk daerah perkotaan menunjukkan angka 27% lebih tinggi daripada perdesaan.


Daftar Bacaan

Azra, Abuzar., Vivian Santos-Francisco. 2001. Poverty Line: Eight Countries’ Experience and the Issue of Specificity and Consistency. Asia and pacific Forum Poverty. Asian Development Bank. Manila.

Bidani, Benu. et. al. 2001. Specifying Poverty Lines: How and Why. Asia and pacific Forum Poverty. Asian Development Bank. Manila.



[1] Diterjemahkan dari artikel: Global Poverty Report, Asia and Pacific Forum on Poverty, Okinawa Summit, July 2000.

Filsafat Perencanaan


Dari Kognitif ke Afektif Membangun Originalitas Ilmu Perencanaan

Rasa Kagum sebagai Bentuk Lahirnya Filsafat

Menurut Plato (dalam Gallagher, 1994), filsafat muncul dimulai dari rasa kagum, tidak ada seorangpun yang dapat berfilsafat kalau dia tidak bisa kagum. Kekaguman di sini bukanlah ‘keingin-tahuan’ yang bersifat umum, seperti rasa kagum pada benda-benda yang canggih dan rumit. Rasa kagum filosofis terutama kagum terhadap sesuatu yang sederhana, yang tampak jelas dalam pengalaman sehari-hari. Dalam konteks ini seseorang merasa kagum bukan karena kecanggihan komputer yang ada di hadapannya, tetapi tertuju pada komputer yang mati sesaat tanpa disentuhnya. Ia akan mencari pengetahuan atas apa yang dialaminya dengan melakukan pengamatan pada sistem dayanya (power supply) apakah mengalami gangguan. Bila ia mempermasalahkan kecanggihan program yang ada di dalam komputer, maka sebenarnya ia belum mendapatkan apa-apa pada saat itu. Sebaliknya bila ia mengetahui penyebab komputernya mati dan mampu mengatasinya, sesungguhnya ia telah mengetahui sesuatu yang baru yang tidak diketahui sebelumnya.

Di bagian lain Gallagher (1994, p.15-16) menekankan bahwa filsafat lebih merupakan usaha untuk memasuki persoalan tertentu dari pada sebagai penguasaan terhadap seperangkat jawaban yang terumuskan. Jadi filsafat merupakan ‘pembukaan mata’ terhadap apa yang dialami. Ada nuansa pembelajaran dalam sebuah pemikiran filosofis, di mana seseorang sadar terhadap apa yang dialaminya sebagai suatu bentuk pemahaman. Orang akan menyadari bahwa apa yang dilakukannya benar karena ia merasa memperoleh manfaat dari apa yang telah dilakukan. Pada dasarnya ia baru menyadari bahwa tindakannya itu benar dan berguna, dalam pandangan filosofis, seseorang belum mampu menjelaskan kenapa pekerjaan yang dilakukannya benar. Pada kondisi ini ia masih membutuhkan pengetahuan tambahan yang disebut sebagai ilmu agar ia dapat menjelaskan apa yang diketahuinya sebagai sesuatu yang benar. Sebagaimana Plato (dalam Gallagher, 1994) menyampaikan filsafat dalam pengalaman mistisnya, bahwa filsafat merupakan pengembalian diri dari apa “yang diketahui setiap orang” menuju kenyataan yang memberikan kesadaran pada dirinya.

Rasa kagum yang disadari keberadannya akan memberikan ide pada diri seseorang yang dipahami sebagai suatu kebenaran. Proses kesadaran terhadap pemahaman tersebut yang dimaksud sebagai lahirnya sebuah filsafat pada diri seseorang. Pemahaman secara filosofis ini akan memberikan manfaat yang besar (oksiologi) dalam kehidupan manusia jika dibangun dalam lingkup kerja yang berprilaku baik. Apabila pemahaman tersebut dapat disusun dalam metodologi yang dapat dipahami secara umum oleh orang lain dan secara ontologi tidak diragukan lagi, maka pemahaman tersebut akan menjadi suatu ilmu pengetahuan yang dapat diaktualisasikan untuk kesejahteraan ummat manusia. Oleh karena itu manusia senantiasa mencari sesuatu yang baru dari gejala-gejala alam yang biasa muncul di lingkungannya agar gejala tersebut dapat ditangkap dan dipahami. Pada kondisi inilah diperlukan suatu fase penelitian yang di dalamnya dijelaskan metodologi dalam menangkap gejala alam dan menjelaskannya secara verbal maupun visual sehingga gejala alam tersebut dapat dipahami oleh orang lain.

Peranan Filsafat dalam Merencana

Seperti apa yang disampaikan oleh Faludi (1986) bahwa knowledge is not sufficient for making plan. Ia membutuhkan pengetahuan tambahan mengenai tujuan, adanya pengorganisasian dan tata cara untuk bekerjasama dan melaksanakannya. Pengetahuan yang tidak diketahui tujuannya menjadi tidak berguna, karena tidak memiliki unsur ontologi sehingga latar belakang pengetahuannya (epistemologi) menjadi kabur. Dalam proses merencana, masalah ontologi dari pengetahuan sangat dibutuhkan. Tanpa diketahui manfaat dan tujuan dalam bertindak maka bisa jadi proses tersebut bukanlah proses dalam merencana. Seorang ibu yang memasukkan anaknya ke sekolah favorit tertentu, jelas memiliki tujuan dan diharapkan akan bermanfaat bagi anaknya agar kelak menjadi pandai dan mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Tindakan sang ibu dapat disebut sebagai proses merencana masa depan kehidupan anaknya. Dalam perencanaan yang disebutkan Faludi, proses merencana tidaklah cukup hanya seperti apa yang dilakukan ibu tersebut. Dalam membuat rencana yang disebut Faludi adalah rencana yang memiliki nilai filosofis, yang dapat dikomunikasikan dan memberikan manfaat untuk orang banyak.

Merencana sebetulnya merupakan proses berfikir, mengenai permasalahan yang dihadapi manusia. Keberhasilan rencana sangatlah tergantung pada kekuatan memandang, dalam istilah khas biasanya disebut analisis. Melihat permasalahan yang menjadi penyebab seseorang harus merencana adalah awal dari bekerjanya filsafat. Dalam perencanaan dikenal suatu tradisi memandang permasalahan secara komprehensif (Friedmann, 1987). Tradisi ini bukan untuk mengaburkan cara berfikir, tetapi untuk memunculkan berbagai kemungkinan dari penyebab suatu obyek perencanaan yang harus direncana. Proses berfikir seperti ini menghendaki cara yang sistematis dan hal ini hanya dapat ditemukan jika memiliki dasar filsafat yang baik. Tafsir (2004, p.45) dalam bukunya tentang filsafat umum, menganjurkan agar berfikir seluas-luasnya, yaitu dengan cara memandang setiap permasalahan dari sebanyak-banyaknya sudut pandang. Dengan demikian muncul pemikiran-pemikiran kritis (filsafat) yang mampu menghantarkan manusia untuk mengenali problema secara bijak. Sampai akhirnya ditemukan jalan keluar yang merupakan jalan tengah.

Antara merencana dan berfilsafat secara implisit terdapat satu sinergitas yang saling memperkuat satu sama lain. Rencana membutuhkan filsafat dan dengan berfilsafat sangat boleh jadi akan menghasilkan rencana yang baik. Dalam filsafat dianjurkan untuk tidak mudah percaya begitu saja mengenai apa yang ditangkap indera. Kasus sederhana mengenai penyelesaian permasalahan desa yang dilanda banjir pada setiap musim hujan. Dalam rapat warga desa, hampir seluruh warganya setuju atas keputusan kepala desa untuk melakukan kerja bakti pembersihan aliran sungai. Namun ada seorang warga yang berfikir berbeda, ia menanyakan apakah benar dengan membersihkan sungai, banjir tidak akan datang lagi? Bagaimana jika masyarakat tetap membuang sampah ke sungai itu? Lalu apakah daerah di atasnya yang gundul bukan merupakan penyebab banjir di desa itu? Kemudian ia usulkan kepada kepala desa, selain melakukan kerja bakti membersihkan sungai, warga juga diberi penyuluhan agar tidak lagi membuang sampah ke sungai. Selain itu disarankan agar kepala desa juga melakukan kerjasama dengan desa tetangga agar gotong royong melakukan reboisasi di bawah pengawasan dan bantuan pihak terkait.

Merencana tanpa didasari filsafat akan menghasilkan keputusan kepala desa yang hanya sekedar untuk membersihkan sungai saja. Padahal ada faktor lain yang perlu difikirkan secara mendalam, yakni budaya masyarakat, dan kerjasama dengan desa tetangga untuk melakukan reboisasi. Dalam kasus perencanaan yang lebih kompleks, tentu perencana dituntut untuk mampu mengemukakan tesis yang baik dimana dipertanyakan dengan tesis yang berbeda (antitesis) dan akhirnya dicarikan jalan keluar, yang dalam filsafat disebut sintesis. Dalam perencanaan, ada pengetahuan empiris, rasional, dan positivis yang mendasarinya, dan hal itu hanya mungkin bisa dicapai dari filsafat yang memiliki ilmu pengetahuan (science knowledge) (Tafsir, 2004). Dengan kata lain, perencanaan dibangun atas dasar metoda ilmu (science method) sementara filsafat dapat dibangun atas dasar pengetahuan. Artinya, dalam merencana diperlukan filsafat, tetapi filsafat yang digunakan adalah filsafat yang memiliki metodologi, dimana domain obyek yang direncanakan masih dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia.

Posisi filsafat, pengetahuan dan ilmu pengetahuan serta perencanaan semakin jelas terlihat. Filsafat memiliki posisi yang paling tinggi, karena keberadaannya tidak hanya apa yang dapat ditangkap panca indera tetapi juga oleh hati. Aliran-aliran dalam Islam yang dikenal sebagai tariqat atau aliran sufi merupakan bentuk filsafat yang hanya mampu ditangkap oleh hati. Penganut aliran ini mampu menceritakan dunia ghaib misalnya tentang kerinduan yang mendalam dan kedekatannya pada Tuhan. Sementara pengetahuan hanya mampu menangkap apa yang bisa ditangkap oleh panca indera. Pada tataran ini masih merupakan kognitif yang belum sepenuhnya mampu membentuk ilmu, karena belum bisa dikaji secara ilmiah. Contoh dari pengetahuan misalnya, seorang penduduk yang mengetahui dan yakin bahwa buah mengkudu mampu menyembuhkan penyakit gondok. Ia tidak tahu mengapa hal ini terjadi, dan bagaimana cara kerjanya. Ketika diteliti dan mampu dipelajari secara medis yang selanjutnya dapat diproduksi dalam wujud kapsul, misalnya, maka pengetahuan tentang buah mengkudu telah menjadi cabang ilmu pengetahuan. Perencanaan merupakan salah satu dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan.

Gambar 1 – Hubungan Hirarkhis Filsafat, Ilmu Pengetahuan dan Cabang-cabangnya (hasil analisis)


Filsafat dan Upaya Membentuk Originalitas Ilmu Perencanaan

Arena perencanaan merupakan lahan subur bagi berkembangnya filsafat. Hal ini berdasarkan atas ruang lingkup ilmu perencanaan yang bekerja pada domain publik (Friedmann, 1987). Filsafat dalam arti harfiahnya bermakna the love of wisdom atau love for wisdom (Tafsir, 2004). Perencanaan yang bekerja pada arena publik inilah menyebabkan filsafat sangat erat kaitannya dengan perencanaan, sebab sesuatu yang dicapai akan memiliki arah yang sama yaitu kebajikan. Hampir semua ilmu menghendaki kebajikan tetapi banyak yang berkerja pada lingkup privat. Pada masa Mandeville dan Adam Smith, berkembang suatu pemikiran bahwa hidup mewah akan membawa ke arah kemakmuran umum lalu muncul istilah Pareto optimum. Friedmann (1987) sendiri menyebut pemikiran ini sebagai rasionalitas pasar. Pada perkembangannya, ternyata rasionalitas sosial yang merupakan antitesis dari rasionalitas pasar sulit diwujudkan dan hampir semua orang tidak memikirkannya. Hingga muncul tokoh Lindhblom (1977) dalam Friedmann (1987) yang menyodorkan pemikiran untuk membentuk perencanaan terpusat, dalam rangka menjawab kepentingan kolektif.

Ada fase dimana ilmu perencanaan jatuh bangun mencari jati diri. Meski demikian ilmu perencanaan secara perlahan mampu mempertahankan wujudnya. Sebelum abad ke-19, suatu bentuk perencanaan yang sangat berbeda (desain orthogonal) telah gagal karena cenderung hanya memaksakan agar suatu pengetahuan masuk akal. Desain orthogonal yang berkembang masa itu menghadirkan filsafat yang hanya sebatas memahami dan mengagumi. Perkembangan yang statik, hirarkis dan cenderung mistik itu tidak dapat diartikulasikan dalam bahasa ilmiah yang mudah dipahami berbagai pihak. Ia muncul dan menyebar secara turun-temurun saja, sehingga komunikasi ilmu yang ada di dalamnya menjadi terhambat. Hingga pada akhirnya disadari bahwa diperlukan adanya pengetahuan lain yang mampu mamahami objek, paradigma, metode bahkan sampai ke detail ukuran-ukurannya. Sebagai suatu ilmu, perencanaan harus mampu mengungkap bagian-bagian tersebut.

Diakui atau tidak, dalam memahami bagian-bagian kronologis ilmu di dalam lingkup perencanaan diperlukan sumbangan ilmu lain yang secara metodologi dapat dipergunakan untuk mengukur keabsahan hasil rencana. Hasil pemikiran filosof bidang ilmu matematika, fisika, geografi, geodesi, arsitektur, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan lingkungan sangat mewarnai bentuk disiplin ilmu perencanaan yang saat ini dikenal banyak orang. Proses ini ditangkap oleh Minett sebagai theory in planning (Minett, 1972 dalam Faludi, 1973). Penyerapan substansi metode dari disiplin ilmu lain sering disebut sebagai substantive theory atau dalam teori perencanaan dikenal dengan theory in planning. Sementara dalam mengembangkan originalitasnya dalam lingkupnya sendiri disebut sebagai teori prosedural atau theory of planning. Peranan substantive theory ini oleh Jayadinata (1986) disebut sebagai proses pengayaan khasanah metodologi ilmu perencanaan.

Dalam geraknya seiring perkembangan ilmu-ilmu lain, perencanaan sudah seharusnya mengembangkan filsafat ilmu perencanaan dalam rangka membangun originalitas ilmu. Bila hal ini terabaikan tentu secara lambat laun akan mengecil dan akan dilupakan orang dan akhirnya menghilang sebagaimana teori evolusi yang disampaikan Charles Robert Darwin. Di Amerika Serikat sekolah-sekolah perencanaan mulai mengalami bias fungsi, dipelajari pada tataran akademis tetapi pada pandangan praktis tidak lebih dari sekedar background dan isu politik suatu rezim. Artinya, dari akar keilmuan, perencanaan banyak mengadopsi disiplin ilmu lain, sampai pada tataran aksiologi ilmu perencanaan hanya merupakan ‘lipstik’ dalam menyampaikan doktrin tertentu. Di Indonesia hal ini sudah nampak gejalanya, di mana dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat menjadi suatu dokumen ‘keramat’ yang disimpan rapi di lemari buku.

Ada nuansa degradasi filosofis dalam memahami ilmu perencanaan di kalangan masyarakat. Meski tidak dapat dikatakan degradasi di kalangan masyarakat, mungkin gerak pemikir-pemikir bidang ilmu perencanaan masih kalah cepat dibanding dengan gerak disiplin ilmu lain dalam mengembangkan metodologi keilmuannya. Filsafat yang memayungi ilmu perencanaan harus disederhanakan dalam bahasa-bahasa yang dapat diterima masyarakat luas. Dalam perencanaan dimana domainnya adalah domain publik, yang diperlukan adalah bukan filsafat yang sulit difahami oleh masyarakat, tetapi filsafat yang melahirkan metoda yang mampu dicerna masyarakat sebagai pengguna. Kadang kala perencanaan dipandang sebagai ilmu yang kurang produktif karena terlalu umum untuk dikomunikasikan. Ada sebagian yang menikmati hal ini untuk berlindung dibalik ketidakmampuannya untuk memecahkan filsafat. Sebagian lagi memang kurang peduli karena filsafat tidak mampu melahirkan originalitas ilmu yang dibangun dari dirinya sendiri.

Dalam menghindari kemungkinan tersebut di atas, pengembangan filsafat ilmu perencanaan seharusnya memiliki spektrum yang jelas tentang arah dan muatan yang akan dibentuk. Sejauh ini pendekatan filsafat perencanaan adalah proses yang terus menerus, tanpa menghasilkan simpul yang baru untuk dikembangkan menjadi sesuatu yang original dan dapat menjadi teladan. Penyerapan disiplin ilmu lain berakhir dengan peninggalan tanpa adanya nilai-nilai yang bisa dijadikan input pengembangan. Kebanyakan produk-produk perencanaan saat ini berada pada stadium tersebut, dimana hanya bersifat rutinitas dan asal jadi tanpa ada manfaat yang diperoleh secara optimal dan menerus.

Gambar 2 – Proses pembentukan originalitas theory of planning (hasil sintesis)

Originalitas ilmu perencanaan dibangun berdasarkan pengalaman yang diperoleh pada saat proses perencanaan dilakukan. Peranan filsafat dalam kaitan ini merupakan pemikiran yang menangkap permasalahan (gejala alam). Posisi filsafat dalam merencana muncul di antara fase observasi dan perumusan masalah. Dari filsafat melahirkan suatu tesis, dilakukan pendekatan dengan metodologi yang dapat membuka ‘tabir’ dari filsafat tersebut. Metodologi yang lazim dilakukan biasanya menguji tesis dengan antitesis yang sudah establish di dunia perencanaan. Jika gejala alam tersebut secara metodologi dapat diterima, maka akan menjadi ilmu pengetahuan baru yang dapat dijadikan sintesis dalam membangun keilmuan bidang perencanaan. Sifatnya bisa memperkuat kajian keilmuan yang sudah ada, atau melengkapi beberapa bagian yang tidak ditemukan sebelumnya. Filsafat perencanaan yang berhasil dibuktikan dengan metode ilmiah akan membuka kemungkinan terbentuknya ilmu perencanaan yang orisinil dan bermanfaat.

Gambar 3 – Posisi Filsafat dalam Proses Pembentukan Originalitas Ilmu Perencanaan (hasil analisis)

Kesimpulan

Ada keterhubungan bila melihat filsafat perencanaan dengan upaya membangun originalitas ilmu perencanaan. Contoh memahami komputer yang mati seketika, seorang ibu yang mendaftarkan anaknya di sekolah favorit, dan warga desa yang mengusulkan penyelesaian masalah banjir kepada kepala desa merupakan ilustrasi bekerjanya filsafat perencanaan dalam lingkungan masyarakat awam. Apa yang difikirkan dan berkembang di masyarakat, merupakan kognitif yang harus dikembangkan oleh para perencana menjadi afektif. Proses ini tentu membutuhkan filsafat yang memenuhi kriteria metodologi ilmu perencanaan yang dapat diterapkan di lingkungan masyarakat. Memang tidak mudah membentuk afektif di lingkungan masyarakat, namun paling tidak peran aktif perencana dalam melahirkan metoda ilmu perencanaan harus dapat mengemuka.

Barangkali masyarakat yang dapat dipandang sebagai gejala, tidak akan menyadari akar ilmu yang mendasari kognitif yang ia miliki. Tetapi hendaknya para perencana yang terbiasa dalam alam filsafat seharusnya menangkap kognitif dan mengemasnya menjadi afektif melalui proses uji metodologinya sebagai masukan dalam membangun originalitas ilmu perencanaan. Produktivitas yang rendah dari perencana dalam memahami gejala menjadi bentuk metoda, merupakan ancaman bagi eksistensi ilmu perencanaan. Dengan demikian filsafat perencanaan sangat diperlukan dalam menangkap gejala alam dan diteliti sebagai obyek rencana yang kelak akan melahirkan metoda baru sebagai akar ilmu perencanaan. Jika hal ini berkembang dan disadari keberadaannya oleh para perencana, maka tidak mustahil ilmu perencanaan akan mandapat tempat yang baik khususnya di Indonesia, sebuah negara yang kaya permasalahan untuk dipikirkan filsafat penyelesaiannya. Karena sesungguhnya filsafat yang berguna adalah filsafat yang ketika seseorang menyadari apa yang sedang menjadi pemikiran filsafatnya itu. Selama ia belum menyadari permasalahan yang ia hadapi maka sesungguhnya ia belum berfilsafat.

-------

Daftar Bacaan

Faludi, Andreas. 1973. Planning Theory. Pergamon Press Ltd. Oxford. England.

Faludi, Andreas. 1986. Critical Rationalism and Planning Metodology. Pion Limited. London;

Friedmann, John. 1987. Planning in The Public Domain: From Knowledge to Action. Princton University Press. New Jersey;

Gallagher, Kenneth T. 1994. Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. Terjemahan P. Hardono Hadi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta;

Jayadinata, Johara T. (1986) Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Perdesaan Perkotaan dan Wilayah. Penerbit ITB Bandung;

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung;