Rabu, April 15, 2009

Kemiskinan dan Ukuran-ukurannya


Kemiskinan

Kemiskinan adalah suatu keadaan manusia yang tidak diinginkan dan tidak semestinya untuk dibiarkan[1]. Secara ekonomi, kemiskinan bukan hanya disebabkan kekurangan pendapatan dan sumberdaya, tetapi juga masalah kesempatan. Sulitnya mengakses lapangan kerja dan pasar karena kendala geografis, rendahnya kemampuan serta sulitnya hubungan sosial juga merupakan penyebab kemiskinan. Keterbatasan pendidikan berdampak pada sulitnya memperoleh pekerjaan dan akses terhadap informasi yang sebenarnya dapat meningkatkan kualitas kehidupan. Oleh karena itu kemiskinan acapkali sulit dimaknai secara obyektif. Berdasarkan tipenya kemiskinan dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian (Bidani at. al. 2001), yaitu:

a). KEMISKINAN RELATIF (relative poverty lines) diperoleh dari penentuan sederhana nilai prosentase distribusi kesejahteraan, seperti tingkat konsumsi dan pendapatan penduduk di suatu tempat tertentu, misalnya ada yang mempersyaratkan hingga 30%. Kemiskinan relatif muncul sebagai akibat adanya tingkat pengeluaran dan pendapatan, semakin kaya suatu daerah maka garis kemiskinan akan semakin tinggi. Pandangan ini memiliki dua kekurangan, yaitu: pertama, kemiskinan relatif tidak begitu berguna jika ingin melihat kemiskinan berdasarkan waktu dan tempat. Keberadaannya selalu dibawah 30% penduduk, sekalipun standar hidup seluruh penduduk menggunakan ukuran lampau. Pendekatan ini juga tidak dapat dipakai untuk membandingkan kemiskinan antar wilayah atau negara. Kedua, kemiskinan relatif masih sangat subyektif, tidak jelas mengapa harus menggunakan ukuran dalam bentuk persen, padahal belum tentu dapat mewakili masyarakat yang disebut miskin itu.

b). KEMISKINAN ABSOLUT (absolute poverty lines) adalah hubungan secara jelas mengenai spesifikasi tingkat kesejahteraan. Cara ini dapat dipakai dalam waktu dan kelompok yang berbeda. Jika dua individu mempunyai standar hidup sama dalam berbagai aspek tetapi berdomisili pada wilayah yang berbeda, keduanya dapat disebut penduduk miskin apabila standar hidupnya berada di bawah garis kemiskinan di wilayah tempat mereka tinggal.

c). KEMISKINAN SUBYEKTIF (subjective poverty lines) adalah jenis kemiskinan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aspek kebutuhan dasar. Rumah tangga yang memiliki pendapatan lebih kecil dari pendapatan minimum yang telah ditetapkan maka rumah tangga tersebut digolongkan dalam keluarga miskin. Kemiskinan subyektif dipilih sebagai tingkat pendapatan pada tiap-tiap penduduk yang merasa pendapatan mereka sesuai dengan kebutuhan pendapatan minimum.


Garis Kemiskinan

Menurut Asra at. al. (2001) yang disebut dengan garis kemiskinan adalah suatu ukuran rata-rata biaya yang dikeluarkan bagi tiap-tiap penduduk untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari baik berupa makanan maupun bukan makanan. Sehingga secara obyektif dapat dilakukan pengklasifikasian bagi penduduk yang disebut kaya dan penduduk yang disebut miskin. Beberapa pendekatan tentang perkiraan ukuran kemiskinan ini, secara umum diklasifikasikan dalam tiga cara:

a). Berdasarkan kebutuhan kalori (Direct Calorie Intake = DCI)

Dianggap rumah tangga miskin apabila konsumsi energi per jiwa lebih rendah dari standar yang dipersyaratkan. Bagi rumah tangga di Indonesia standar konsumsi kalori per hari diperkirakan mencapai 2.100 kalori atau 2,1 KKal (Kilo Kalori).

b). Berdasarkan kebutuhan energi makanan (Food Energi Intake Method = FEI)

Lebih jauh dibanding dengan kebutuhan kalori (DCI), pada FEI ukuran konsumsi atau pendapatan (ketergantungan rumah tangga pada makanan pokok dan bukan makanan pokok) ditentukan oleh nilai tukar uang terhadap kebutuhan dasar. Ukuran ini guna menghindari pembatasan harga bagi kebutuhan dasar. Metoda FEI ditentukan oleh dua cara: pertama, dengan menghitung rata-rata pendapatan atau pengeluaran rumah tangga berdasarkan kebutuhan kalori kira-kira sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan. Kedua, dengan menggunakan hubungan empiris antara kebutuhan energi makanan dengan pengeluaran untuk konsumsi (mengurangi konsumsi dan mengalihkannya pada fungsi yang telah diperkirakan, atau mengurangi konsumsi yang tidak penting guna pemenuhan kebutuhan nutrisi).

c). Berdasarkan biaya kebutuhan dasar (cost-of-benefit needs = CBN)

Metode ideal yang sering digunakan dalam penurunan garis kemiskinan adalah dengan biaya kebutuhan dasar (cost-of-benefit needs = CBN). Dengan menetapkan sekelompok barang atau layanan yang dibutuhkan tiap orang (rumah tangga) untuk mencapai tingkat penghidupan yang layak dalam masyarakat. CBN mengukur garis kemiskinan dengan menghitung biaya sekelompok bahan pangan yang memungkinkan rumah tangga menemukan kebutuhan nutrisi minimum sehari-hari yang telah ditentukan kemudian pertambahan biaya pinjaman untuk konsumsi bahan pangan. Ada tiga tahap implementasi metoda CBN: (1) menentukan sekelompok bahan pangan yang disebut dengan kebutuahn pasokan nutrisi (sering disebut kalori) sehari-hari; (2) memperkirakan harga dari kelompok makan tersebut, (3) memperhitungkan pinjaman bagi kelompok bukan makanan.

Di Indonesia perbedaan penetapan secara nasional dan regional tentang kebutuhan makanan pokok menjadi isu yang utama. Biro Pusat Statistik (BPS) menggunakan pembangian berdasarkan kawasan perdesaan dan perkotaan dengan asumsi biaya hidup lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan. Bagi kawasan perkotaan menggunakan referensi pengeluaran per kapita rumah tangga per bulan sebesar Rp. 80.000 – Rp. 100.000 (studi pada tahun 2001, BPS dalam Bidani at. al. 2001). Sementara untuk kawasan perdesaan menganut referensi pengeluaran per kapita rumah tangga sebesar Rp. 60.000 – Rp. 80.000 tiap bulan. Pada saat itu garis kemiskinan untuk daerah perkotaan menunjukkan angka 27% lebih tinggi daripada perdesaan.


Daftar Bacaan

Azra, Abuzar., Vivian Santos-Francisco. 2001. Poverty Line: Eight Countries’ Experience and the Issue of Specificity and Consistency. Asia and pacific Forum Poverty. Asian Development Bank. Manila.

Bidani, Benu. et. al. 2001. Specifying Poverty Lines: How and Why. Asia and pacific Forum Poverty. Asian Development Bank. Manila.



[1] Diterjemahkan dari artikel: Global Poverty Report, Asia and Pacific Forum on Poverty, Okinawa Summit, July 2000.

2 komentar:

  1. Kalo standar kemiskinan menurut Islam? Sebagai tambahan saja, standar miskin menurut Islam adalah orang yang layak untuk menerima zakat. Yaitu fakir dan miskin.

    BalasHapus
  2. Terimakasih Bung Wisnu, semoga tulisan di atas membantu mempertajam ukuran kemiskinan, seperti yang Bung Wisnu sebutkan: Fakir dan Miskin.

    BalasHapus